ASAL USUL MINANGKABAU
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu
Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar
2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakatini masuk
dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke
dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang
Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang
dikenal dengan nama luhak,
yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri
dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak TanahDatar.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk,
masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk
beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang
merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau
juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di
Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagiatas Rantau
di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan
pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang
Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat
budaya matrilineal (mengikuti
garis keturunan dari ibu) yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang
dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus
berlangsung demi kepentingan sensus penduduk
maupun politik.
AGAMA
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar
dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap
keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk
melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat,
terutama pada kawasan Pariaman,
namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada
pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, danSungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu
pada kawasan pedalaman Minangkabau. Serta hal ini juga dikaitkan dengan
penyebutanOrang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekundalam agama
Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau. Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat
ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada
masa-masapemerintahan Adityawarman dan
anaknya Ananggawarman.
Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan
Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya,
walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih
menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
ADAT DAN BUDAYA
Adat dan budaya Minangkabau bercorakkan keibuan (matrilineal),
dimana pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan.
Menurut tambo,
sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang
bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatangdan Datuk
Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago
yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto
Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan
kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem
masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun
dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalahalim ulama,
cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo
Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama
tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua
urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
BAHASA
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia.
Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang
menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek
Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya,
sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang
berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan
bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu
sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya
masing-masing.
RUMAH ADAT
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya
dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah
Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian
muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk
rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa
disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti
dengan atap seng.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi
penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri,
menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya
tidur di surau. Surau biasanya
dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi
sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa
namun belum menikah. Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua
kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah
berstatus nagari saja, rumah
adat ini boleh ditegakkan
PERKAWINAN
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan
salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa
peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru
pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk
masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga
pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek,
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai(menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di
pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang
biasa dilakukan di Mesjid,
sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan
kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama
kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru
tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di
kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian
gelar ini tidak berlaku.
KESENIAN
- Randai
- Silek (Silat
Minangkabau)
- Saluang
- Sambah Manyambah
UPACARA
- Tabuik
- Turun mandi
- Batagak pangulu
- Turun ka sawah
- Manyabik
- Hari Rayo
LAGU
Kampuang Nan Jauh di Mato, Kambanglah Bungo, Indang SungaiGaringgiang
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar